You Are What You Think You Are

Di perut kereta rel listrik dalam perjalanan Depok-Jakarta, siang itu, sekitar 14.30 wib, muncul sekelompok pengamen cilik dengan segala atributnya. Sembari mengucap salam, dentam musik mereka membangunkan sebagian besar penumpang yang terserang kantuk. Lalu mengalirlah lagu-lagu lawas bernada gembira, serasa membawa nuansa angin segar pada siang yang cukup suntuk dan gerah.

“Oo... Carol….

Gitar, gendang, kecrekan dan lengkingan suara bocah 9 tahun-an itu terdengar begitu riang. Tanpa sadar menarik senyum dan hentakan kaki tiap penumpang KRL yang ada.

Seolah tanpa lelah, bocah-bocah itu membawakan 3-4 lagu, hingga ketika bait terakhir nyaris usai, 2 orang mahasiswa yang sejak awal begitu menikmati sajian mereka, berteriak lantang, “Lagi! Lagi!”. Dan temannya menimpali, “We want more! We want more!”.

***

Kawan, terkadang hidup ini terasa begitu berat. Jam kerja yang padat, jadwal kuliah yang penuh, kognitif yang tertekan oleh ujian-ujian, ulah anak-anak yang banyak tingkah, kepenatan yang menumpuk, amanah yang tak habis-habis dan tak kunjung selesai, dan segala problematika kehidupan lainnya, terasa begitu membuat tertekan.

Tapi, mari kita tengok dan renungkan sejenak.

Lihatlah wajah-wajah bocah pengamen cilik tadi yang begitu riang gembira, tetap menghibur orang lain meski tak pernah tahu apakah sukacita dalam dirinya telah cukup melebur. Mereka hanya bernyanyi, dan itu mereka lakukan dengan demi segenggam logam dan recehan. Dan mereka perbuat semua itu demi mempertahankan hidupnya; mungkin untuk makan, mungkin untuk membayar biaya sekolah yang semakin tidak memanusiawikan rasa, atau mungkin hanya untuk setoran kepada ‘atasan’. Sekali lagi, segala sesuatunya itu dilakukan tanpa keluhan, apalagi duka.

Tapi kita, Kawan…
Kita yang mungkin telah bekerja dengan sangat nyaman di ruangan ber-ac, yang mungkin telah cukup santai belajar di perguruan tinggi atau sekolah yang kadang tidak pantas disebut layak sebagai tempat menimba ilmu, atau yang mungkin telah berpenghasilan tetap tiap bulannya, yang mungkin tengah sibuk berkutat dengan agenda-agenda ummat, berda’wah, mengajar, mengisi forum-forum kajian, berjibaku dengan berbagai amanah, atau apapunlah namanya.

Terkadang masih juga mengeluh dan meratap. “Gaji kecil apanya yang menyenangkan?”, “Dosen killer gimana mau nyaman belajar?”, “Materi segudang gimana mau siap ujian?”, “Murid sedikit dan jarang datang, gimana mau semangat?”, “Makanan itu-itu melulu, gimana mau sehat?”, “SDM sedikit, gimana da’wah mau berhasil?”…. dan berjuta keluhan yang kita lontarkan setiap detiknya.

Padahal Kawan, dibandingkan bocah-bocah pengamen tadi, kita jauh lebih beruntung. Ada lembar-lembar rupiah yang tiap bulannya kita terima, ada materi-materi kuliah yang dosen kita ajarkan, ada istri yang siap menyambut dengan cinta dan senyuman, memasakkan makanan, membenahi rumah dan mencucikan pakaian, ada objek-objek da’wah yang dengan adanya mereka, ladang pahala siap dialirkan, ada setumpuk amanah yang jika ditunaikan, akan memberatkan timbangan amal kebajikan, ada buah hati yang siap menghibur perasaan dengan kepolosannya yang menggemaskan, dan berjuta lagi kenikmatan yang mungkin justru seringkali kita anggap beban.

Kawan, bukan kesyukuran yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Tapi yang ingin ditekankan disini bahwa imajinasi kita-lah penentu segala hal yang kita terima.

Ketika mungkin gaji kecil yang kita peroleh, kita persepsikan sebagai suatu rezeki dari Allah, tentu kita tak akan banyak mengeluh. Ketika ada dosen 'killer' mengajar, kita persepsikan sebagai cambuk untuk giat belajar, mungkin kita akan selalu bersemangat. Ketika para murid yang jarang hadir, kita persepsikan sebagai akibat dari kekurangan kita dalam membawakan materi (pelajaran) misalnya, mungkin kita akan senantiasa termotivasi untuk memperbaiki diri. Ketika amanah yang bertumpuk dan datang bertubi, kita persepsikan sebagai kesempatan ‘tuk meraih pahala sebesar-besarnya, mungkin tak ada lagi wajah-wajah tertekuk dan cemberut. Ketika pelayanan istri yang ‘begitu-begitu saja’, kita persepsikan sebagai latihan untuk qona’ah dengan apa yang ada, mungkin rumah tangga akan senantiasa terasa tenteram. Ketika tingkah polah dan kenakalan para bocah yang mengesalkan, kita persepsikan sebagai ajang untuk melatih kesabaran, mungkin kita akan menjadi orangtua yang begitu dicintai putra-putrinya. Ketika hanya ada segelintir SDM di lingkungan kita untuk berda’wah, kita persepsikan sebagai pembelajaran dari Allah dan peluang ‘tuk meraih imbalan-Nya yang lebih besar, mungkin tak akan ada lagi berbagai keluhan.

Begitulah, Kawan.
Ternyata persepsi kita, cara pandang kita, paradigma kita dalam mengolah kognisi dan rasa jiwa, begitu menentukan sikap kita dalam menjalani kehidupan. Seperti bocah-bocah pengamen tadi. Mereka mempersepsikan kerja keras menghibur orang sebagai suatu keriangan, senyuman, keceriaan, dan rasa sukacita tanpa setitik pun duka. Padahal mereka tidak tahu apakah dengan berlaku seperti itu, mereka cukup dapat memenuhi tuntutan kehidupan yang bisa jadi jauh lebih berat dari kehidupan kita sekarang.

Ya, sebab persepsi mereka membahasakannya sebagai suatu kepositifan, bukan hal yang menyebalkan dan menambah beban.

Kawan, ada pepatah barat yang mengatakan, You Are What You Think You Are (Kita adalah apa yang kita pikirkan), maka mengapa kita tidak mencoba mengubah pola pikir kita, persepsi-persepsi kita, untuk menjadi lebih positif dan memandang segalanya sebagai hal yang bukan beban? Jika kita telah berpersepsi demikian, maka insya Allah, kehidupan adalah kenikmatan yang harus kita syukuri setiap detiknya, dan kebahagiaan hakiki pun dapat terasakan oleh jiwa-jiwa yang ikhlas lagi lapang.

Nah Kawan,
Matahari belum terbit di sebelah barat dan belum tenggelam di sebelah timur bumi. Semoga Dia berkenan memberi kita kesempatan untuk terus memperbaiki diri dalam menghadapi perjalanan yang sangat sebentar ini, salah satunya dengan mempersepsikan segala yang terjadi dalam sebuah kepositifan berfikir, sehingga kita ‘kan terus bersyukur kepadaNya, dalam keadaan apapun. Bagaimana?

0 comments: